Wednesday, March 31, 2021

BELAJAR ONLINE ATAU OFFLINE ?

        


Digitalisasi dunia, tidak sanggup dihindari pun dibendung eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari individu Indonesia. Adaptif, adalah kata kunci menyikapi perubahan zaman. Ada yang berlari kencang beriringan dengan kemajuan teknologi tinggi, atau terseok-seok langkah mengikuti perubahan, namun banyak pula yang mengalir biasa saja seiring arus utama. 

Yang pasti, bumi berevolusi tanpa menunggu kesiapan penghuninya. Siap atau tidak, kita berada di dalam pusaran evolusi, namun manusia penghuni bumi punya cara sendiri-sendiri untuk beradaptasi. Begitupun saat ini, ketika tiba saatnya seluruh manusia "dipaksa" melakukan mayoritas aktivitas keseharian dari dalam tempat tinggal masing-masing karena pandemi.      

         Aktivitas keseharian utama yang instan beradaptasi di awal pandemi adalah Bekerja, Belajar dan Belanja. Pilihannya sederhana, lakukan tiga B tersebut secara online atau tertular (resiko tertular tinggi jika melakukan tiga B secara offline).

Transisi perubahan, lambat dan bertahap sekalipun pasti menimbulkan reaksi, apalagi jika transisi perubahan dilakukan serta merta dan sekaligus, tanpa persiapan, tanpa tahapan-tahapan. Bukan reaksi lagi pastinya, akan ada gejolak yang timbul dan ini dialami di seluruh dunia, sampai pada satu titik, transformasi tersebut akan dirangkul bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dengan segala kelebihan dan kekurangannya.   

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            Bekerja dan belanja online, mungkin tidak akan terlalu ekstrem perubahan yang dirasakan, karena sebelum pandemi, tidak sedikit yang sudah menjalani bekerja jarak jauh, mengandalkan media online untuk berbisnis dan bekerja. Begitu juga dengan belanja, berlimpahnya market place dan platform digital yang menawarkan kemudahan berbelanja dari rumah jauh sebelum pandemi, membuat paparan berbelanja secara online mahfum dilakukan, mayoritas penduduk global mampu beradaptasi dengan mudah. 

Belajar Online 

        Mungkin saya tipe pembelajar konservatif, dimana proses menyerap ilmu baru bisa optimal ketika berhadapan langsung dengan "guru," melihat, mendengar dan merasakan langsung kehadiran guru didepan mata.

Buat saya, energi yang terpancar dari suara, tatapan dan ekspresi serta gerakan tubuh sang guru, membuat panca indra ini mampu merekam secara sempurna keseluruhan proses pembelajaran, termasuk ruang kelas serta lingkungan tempat belajar dengan interior dan eksterior khas yang sungguh memanjakan mata. 

Belum lagi kehadiran rekan-rekan sesama penuntut ilmu di sekeliling yang menularkan radiasi positif hanya dengan berada dekat-dekat mereka. Frekuensi yang sama membuat antene tubuh pun menangkap gelombang yang sama, booster sempurna untuk membuat sel otak menari-nari.

        Pernah beberapa kali mencoba ambil bagian di pembelajaran online, baik melalui Grup WhatsApp, Zoom, webinar, live streaming, dan lain-lain, namun hasilnya, fokus konsentrasi dan daya serap tak lagi sama, "bekas" yang tertinggal ketika pembelajaran berakhir tidak serupa, seperti ada bagian yang kosong, kepingan puzzle yang terlewat, utuh, namun tidak lengkap. Walaupun begitu, karena faktor umur dan pengalaman mungkin, kita-kita yang dewasa ini akan ikhtiar maksimal untuk mengerti dan paham materi guna menggenapi rangkaian ilmu.         

     Namun bagaimana dengan anak-anak dan remaja kita?  

Belajar online tidak menawarkan itu semua. Yaa, memang kasat mata, ada guru dan teman-teman di layar gadget, suara mereka pun bisa disimak, tapi tetap beda. 

Cara kita duduk, posisi guru menerangkan materi, mata yang harus fokus berjam-jam ke layar, tidak ada teman interaksi di kanan-kiri. Penglihatan dan pendengaran ini dipaksa menghadapi pemandangan "statis" selama berjam-jam, karena memang tidak memungkinkan di kelas online untuk berekspresi nyata seperti ketika ada di kelas.

(Terpaksa) lupa, kalau manusia pada dasarnya punya daya fokus terbatas akan sesuatu yang statis. Terlewat, kalau panca indera anak-anak dan remaja harus bisa dipuaskan dalam proses  pembelajaran untuk merangsang otak mereka. Terpaksa lupa juga kalau gaya belajar manusia itu berbeda-beda. Satu tahun pembelajaran jarak jauh belum mampu mengakomodir gaya belajar siswa visual, auditori, membaca/menulis dan kinestetik (VARK Learning styles). Situasi yang jauh dari sempurna memang, namun itu semua adalah situasi ideal yang mampu diakomodir Indonesia saat ini.    

        Proses pendidikan bukan hanya sekedar mengantarkan informasi dari sumber-sumber pembelajaran kepada siswa, tetapi juga melingkupi aspek perubahan perilaku yang diharapkan terjadi ketika proses pembelajaran berakhir. Kesabaran dan ketangguhan orang tua pendamping siswa lah yang dibutuhkan saat ini untuk menjadi penguat anak-anak.

Akan tiba saatnya nanti transisi kembali dari online menuju offline-adaptasi. Setelah satu tahun lebih, baik siswa, orang tua maupun guru menjalani kebiasaan belajar dan mengajar dari rumah, terbiasa dengan keriuhan mereka di rumah, tidak perlu bermacet-macet pergi dan pulang sekolah serta siswa yang bisa jadi terlanjur santai dan intens terpapar gadget, dan masih banyak lagi, kemudian, harus kembali bersekolah dengan tetap waspada terhadap Covid-19. Sudah siapkah ?                      







No comments:

Post a Comment